![]() |
| Ilustrasi |
Asal-Usul Rantau Minang ke Padang
Dahulu kala, perjalanan orang Minang ke rantau pesisir dimulai dari Solok, menuruni Sitinjau Laut, melewati lembah dan bukit yang kini berada di belakang Kampus Unand Limau Manis. Dari sana rombongan turun ke Lubuk Minturun, lalu sebagian datang dari arah Batusangkar menuju Pariaman, dan akhirnya bermuara ke daerah pesisir: Padang.
Padang pada masa awal tidaklah seluas sekarang.
Permukiman dimulai dari sekitar Pelabuhan Muara dan kawasan Alang Laweh. Di daerah-daerah inilah para bangsawan keturunan Kerajaan Pagaruyung menetap, dan sebagian garis keturunannya masih hidup hingga kini.
Masjid Ganting dan Warisan Suara Zaman
Masjid pertama yang berdiri di kota Padang adalah Masjid Ganting — masjid tua yang menjadi saksi zaman kolonial dan pusat kehidupan masyarakat.
Karena perannya yang sangat penting, hingga hari ini azan Magrib dan siaran salat Jumat disiarkan langsung melalui RRI Padang, sebuah tradisi yang tak pernah putus dari generasi ke generasi.
Kisah Orang Nias di Padang
Pada masa kedatangan VOC, terjadi kisah besar yang jarang dituturkan.
Disebutkan bahwa VOC membawa masyarakat Nias dengan dua kapal kayu ke Padang. Data dari para penghulu suku Nias di Tanjung Basung, Pasar Usang dekat Bandara BIM, menyebutkan bahwa mereka didatangkan untuk pekerjaan sangat berat:
1. Membuka Pelabuhan Teluk Bayur
Dengan tenaga manual, mereka membantu “memutus” bukit Barisan untuk membuka jalur menuju Teluk Bayur. Dari sinilah asal nama Bukit Putus di Gaung.
Orang Minang pada masa itu menolak bekerja sama dengan VOC, sehingga VOC menggunakan tenaga orang Nias untuk proyek besar pelabuhan dan jalan.
2. Membangun Jalur Kereta Api
Sesudah pelabuhan selesai, orang-orang Nias kembali dipakai untuk membangun rel kereta menuju Sawahlunto dan Payakumbuh.
Namun ketika pekerjaan selesai, VOC tidak mengembalikan mereka ke kampung halaman, sehingga sebagian besar menetap dan beranak-pinak di wilayah Padang hingga sekarang.
Mengapa Orang Minang Tidak Mau Disebut “Orang Padang”?
Ada sebuah falsafah lama:
“Urang Minang itu berasal dari Darek.”
Darek yang dimaksud adalah Luhak Nan Tigo:
Luhak Tanah Datar (Batusangkar)
Luhak Limo Puluah (termasuk Solok dan Padang Panjang)
Rantau seperti Padang, Pariaman, Pesisir Selatan, dan lainnya memang dihuni oleh orang Minang, tetapi asal keturunan adat, suku, dan gelar tetap bersumber dari darek.
Karena itulah, orang-orang yang tinggal di Padang sering berkata:
“Ambo Minang, tapi bukan urang Padang asalnyo.”
“Urang asal dari kampuang, dari luhak, dari darek.”
Di Padang sendiri dikenal Tungku Tigo Sajarangan:
Adat batagak gala pun tetap mengikuti asal suku dan kampung dari darek.
Banyak suku dari luar Minangkabau yang merantau ke Padang, sehingga kota ini menjadi tempat bercampurnya berbagai etnis. Karena keragaman inilah muncul ungkapan bahwa orang Padang sekarang tidak seluruhnya berasal dari Minang darek, sehingga masyarakat Minang lebih memilih menyebut asal kampungnya secara spesifik.
Akhir Kata
Beginilah kisah yang dituturkan oleh Uda John Sati, cucu dari rantau besar Minangkabau.
Ia sendiri berasal dari Nagari Sumani, dekat Danau Singkarak, dari suku Koto, membawa cerita yang diwariskan agar tidak hilang ditelan waktu.
Semoga kisah ini menjadi pengingat asal-usul, memperindah pemahaman sejarah, dan menjadi bekal bagi anak cucu Minang yang ingin mengenal jejak rantau dan darek mereka.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sumber :
Facebook page cover_minangindo
